Mimpi seorang pemuda

Aku hanyalah seorang remaja yang bermimpi akan keadilan dan kemakmuran bagi bangsaku indonesiaku ini

Selasa, 22 Februari 2011

NASIONALISME,ISLAM,DAN MARXISME

Tulisan ini ditulis oleh bung karno pada tahun 1926.dia mensintesiskan ketiga ideologi ini agar bisa bersatu dalam perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme belanda pada saat itu.ke pragmatisan ideologi soekarno sangat kental ditulisan ini.saya mengambil tulisan ini sih cuman dari artikel di internet.


Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun 1882, Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham "bangsa" itu. Bangsa, menurut pujangga ini, adalah suatu nyawa, suatu asas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat (sejarah); kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan "bangsa" itu.

Dari tempo-tempo selanjutnya, penulis-penulis lain, sebagaimana Karl Kautsky dan Karl Radek, maka teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal "bangsa" itu.

"Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu," begitulah katanya.

Nasionalisme ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka adalah satu golongan, satu "bangsa"! Bagaimana pun juga bunyi keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu kepercayaan diri, rasa perlu mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada Budi Utomo dalam usahanya mencari Jawa Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia Merdeka adanya.

Bagaimanakah rasa nasionalisme terjangnya? Budi Utomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, karena rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Carthill, bahwa "yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali." Oleh karena kepercayaan diri itu begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (rasisme) itu setinggi langit bedanya dengan paham bangsa, oleh karena ras adalah suatu paham biologis, sedangkan nationaliteit adalah suatu paham sosiologis (ilmu pergaulan hidup). Apakah Nasionalisme itu dalam perjuangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras? Apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat diri dengan Marxisme yang internasional, interrasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! Sebab, walaupun Nasionalisme pada hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai "keinginan hidup menyatu" dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa "satu golongan, satu bangsa" dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan dalam asasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak "dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu", —maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai "keinginan hidup menjadi satu"; —bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa "satu golongan, satu bangsa"; —bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis, Islamis, maupun Marxis, beratus-ratus tahun lamanya memiliki "persatuan hal ikhwal", beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka!

Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa "persatuan hal ikhwal", persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa "segolongan" itu. Betul rasa golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara pihak-pihak pergerakan di Indonesia kita ini, —akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand (Mahatma) Gandhi: "Buat saya, cinta pada tanah air adalah cinta pada kemanusiaan. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara hidup manusia. Saya tidak mengecualikan siapapun juga." Inilah rahasianya, sehingga Gandhi punya cukup kekuatan untuk mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak Yain, dan pihak Sikh, yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghebat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridho hati menerima paham-paham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada imperialisme, tak setuju pada kemodalan!

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu!

Bahwa sesungguhnya, asal mau saja... tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala pihak dalam pergerakan kita ini.

Kita ulangi lagi: Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis!

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan sejarah dunia —bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis— tak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, —nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu ilham dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka Nasionalisme itu adalah lebar dan luas, mampu memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagaimana lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecintaan bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jango nationalism, sebagaimana jango nationalism Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jango nationalism yang semacam itu "akhirnya pastilah binasa", oleh karena "nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas asas-asas yang lebih suci".

Bahwasanya, hanya nasionalisme ketimuran yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis Timur yang sejati. Nasionalisme Eropa, ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, —nasionalisme yang semacam ini akhirnja pastilah kalah, pastilah binasa.

Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri ialah supernasional, superteritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?

Banyak nasionalis di antara kita yang lupa bahwa pergerakan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini —ya, di seluruh Asia— adalah sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal dari hasrat melawan "Barat", atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawanlah adanya. Betapa lebih luhurnya sikap nasionalis Prof. TL Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: "Jikalau Islam menderita sakit, maka Roh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sengit pula imperialisme Eropa mencekik Roh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia sediakala; saya percaya bahwa Rohnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, berarti nasionalisme kita diperkuat oleh segenap kekuatannya itikad internasional itu."

Dan bukan itu saja. Banyak nasionalis kita yang lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga adanya, di seluruh "Darul-Islam" menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia. "Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu masih menjadi satu bagian dari rakyat Islam, Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya."

Inilah nasionalisme Islam!

Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit budi dan sempit pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu asas, yang —walaupun internasional dan interrasial— mewajibkan pada segenap pemeluknya di Indonesia, bangsa apapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya!

Adakah pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?

Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, —Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda politik dunia dan sejarah. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis —pada saat itu belum bisa diadakan sosialisme di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok tidak ada syarat-syaratnya yang cukup masak untuk mengadakan peraturan Marxis.

Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme, baik sebagai suatu asas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, —perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme, asal saja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikap para pendekar Nasionalis di lain-lain negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat diri dengan kaum-kaum Marxis?

Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanya kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan.

Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk merekalah terutama tulisan ini kita adakan.

Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan sejarah, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!

2 komentar:

  1. Tulisan yang baik dan bermanfaat untuk kemajuan kita bersama. salam revolusi

    BalasHapus
  2. lihatlah juga penghkhianatan kaum nasionalis Tiongkok (Ciang Kai Sek) yang membantai bloknya Mao Tse Tung dan juga penghianatan Gandhi (menolak menandatangani pengampunan) terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Bagadh Sikh dkk yang menyebabkan 3 orang dr partai sosialis India di hukum gantung oleh Inggris

    BalasHapus