Mimpi seorang pemuda

Aku hanyalah seorang remaja yang bermimpi akan keadilan dan kemakmuran bagi bangsaku indonesiaku ini

Selasa, 12 Juli 2011

BEDAH BUKU "LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU" SEBUAH PELURUSAN SEJARAH

Buku ini, meski disebut sebagai "buku putih", tapi bukanlah sebuah
pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi
mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan
semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari
Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS
Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan
ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi
pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin
dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku
ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan
Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak
mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul "merah" itu disusun oleh dua budayawan
lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku
ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh
berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda
kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat
prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai
apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika
disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan
makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu
disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang
tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul
(tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap
ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak
terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan
kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini
sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak
Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding,
dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya adalah sebuah
pembangunan opini bahwa Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang
tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan
kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra berdiri,
kemudian riwayat Harian Rakjat sebagai corong utama kerja-kerja
seniman Lekra, dan lantas satu demi satu diuraikan bagaimana kerja
Lekra dalam bidang sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni
tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang
selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan
pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal
yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang.

Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai
catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut
data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat,
pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya.
Sungguh ini merupakan buku pertama mengenai Lekra yang sangat
komprehensif.
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar